Senin, 27 Februari 2012

Secarik Kertas Untuk Ditulis



Aku menyusuri perbukitan yang hijau itu. Sejauh mata memandang kulihat buah stroberi berwarna merah tersenyum, menunggu untuk dipetik. Semilir angin yang begitu sejuk, meniup-niup rambutku yang dikuncir kuda. Awan yang bergerak pelan dilangit meneduhiku dari matahari yang bersinar cerah. Dari kejauhan kulihat seorang gadis kecil berambut panjang dengan bando berwarna merah dan baju kodok berteriak ke arahku. “Kak Maya! Teriaknya lalu berlari ke arahku sambil menenteng ember kecil berwarna hijau yang penuh dengan stroberi. “Kakak kapan pulang?” katanya sambil memelukku erat.
“Baru saja sampai di Jakarta, Pak le dan Bude ada?” tanyaku sambil mencubit pipinya. “ Iya, ada. Ayo ikut aku!” dia menarikku menuju rumah lama yang pernah ku tempati. “Masih sama” kataku dalam hati. Gadis itu masuk ke dalam rumah dan ketika keluar, dia sudah menarik perempuan yang sudah ku kenal.
“Maya! Ya, ampun kapan kamu pulang? Cantik banget kamu!” katanya lalu menyuruhku duduk. “Pantes aja, Ratih teriak-teriak tadi! Ternyata kamu toh!” katanya sambil tersenyum. “Oh, gitu ya bude. Maaf deh kalau aku baru datang sudah bikin repot” kataku sambil memberikan senyumku yang termanis. “Oh, ndak pa-pa kok! Kamu kesini memang sudah libur? Bapak dan Ibumu sehat-sehat saja?” sambil menyediakan beberapa toples berisi manisan dan keripik. “Iya, Bapak sama Ibu baik dan sehat bude. Kebetulan aku kesini ada tugas yang diberikan dosen! Ratih, kamu sekarang kelas berapa?” tanyaku sambil mengambil beberapa keripik balado dari toples. “Aku kelas 4 SD kak! Aku rangking satu terus loh!” katanya sambil membusungkan dada. “wah, hebat dong!” kataku lagi.
“Sudah Maya, Si Ratih memang begitu. Baru dapat rangking satu sekali saja sudah sombong!” Ratih lalu mengerucutkan bibirnya. “tuh kan ngambek? Mending kamu bawa ember yang penuh stroberi itu ke belakang supaya dijadiin keripik! Sana……” kata bude membujuk Ratih yang dikenal sebagai “Ratu Ambekan.” “Ndak, aku ndak mau!” kini Ratih berkacak pinggang. Aku tersenyum melihat tingkah pola sepupuku yang paling kecil itu. “oh, ya Bude, Pak le dimanaya?” tanyaku sambil mencari-cari. “Pak le mu lagi di kebun apel. Hari ini kebetulan sedang panen! Kamu mau kesana?” tanyanya. Aku mengangguk. “Gimana kalau aku yang anter, Kak Maya mau kan?” kata Ratih yang tersenyum senang. “Bukannya lagi ngambek?” goda Bude kembali pada anak terkecilnya itu. “Ngambeknya udah! Ayo, kak Maya biar Ratih anter!” sambil menarikku menuju kebun apel.
*******
“Masih jauh?” tanyaku. “Umm, bentar lagi!” jawabnya. Kulihat sekelilingku. “Semua masih sama. Tak ada yang berubah, hanya aku dan kenangan itu yang berubah” kataku dalam hati. Kebun apel milik Pak le memang cukup jauh. Kulihat sebelah kananku, sungai. Ya, di sungai itu dulu aku sering berenang dan bercanda dengan teman-teman juga….. “Sudah sampai! Itu Bapak Kak!” teriak ratih sambil menunjuk Pak le yang sedang sibuk menimbang apel. Aku mendudukan diriku di dangau, kembali aku teringat akan seseorang. Aku yang sering mandi disungai tadi selalu duduk di dangau tua yang sudah reyot ini untuk memandangi langit dan menulis.
“Maya!” aku langsung menoleh. “Pak le, apa kabar?” kucium tangan Pak le.
“Kapan kau datang? Kenapa tidak bilang kan bisa di jemput!” kata pak le sambil membuka topi yang dikenakannya. “Baru saja” kataku. Terlihat Pak le sangat lelah topi yang dipakai setengahnya basah oleh keringat. Ratih lalu bercerita panjang lebar tentang kedatanganku tadi.
“Kamu masih mau disini? Pak le mau pulang sebentar?” kata Pak le sambil menggendong Ratih yang ternyata sudah tertidur. “Eh, iya Pak le. Aku masih kangen sama desa ini!” kataku sambil memandang berkeliling. “Ya, sudah! Pak le pulang dulu mau antar sepupumu yang bawel ini! Kasian dia capek ngoceh mulu.” Kata Pak le. Aku lalu tersenyum mendengarnya. Ku pandangi sekali lagi desa tersebut.
“Ma… Maya ya?” ku cari siapa pemilik suara itu. Mas Radit!
“Hai, May! Bagaimana kabarmu?” kata Mas Radit. Aku diam tanpa bisa berkata. Mas Radit masih memandangku. “Boleh duduk disini?” katanya lagi. Aku berusaha memfokuskan pikiran, lalu aku mengangguk. “Kamu tambah cantik May!” kata Mas Radit memandang kosong ke depan. “terima kasih, tapi ku pikir bukan ini yang mau ku dengar!” kataku spontan. Kata-kata itu meluncur begitu saja.
“May, kamu tahu kan. Aku selalu ingin menyusulmu kesana?” kini dia menatapku. “sudahlah mas, aku tidak mau membicarakan hal itu ditempat istimewa ini!” kataku datar. “Kau tidak tahu May! Aku juga tidak mengerti mengapa ini bisa terjadi? Kuliahmu lancar?” kembali dia menatapku. “tentu saja” jawabku singkat. “Kau masih suka menulis?” tanyanya lagi. Aku terdiam beberapa saat. Baru ku sadari sudah lama aku tidak menulis. “May, aku… aku berharap kau masih menulis” katanya dengan lembut. “Untuk apa? Untuk apa aku menulis?” ku sadari suaraku meninggi. “Setidaknya hanya itu yang bisa menjadi kenangan” kata Mas Radit menundukan wajah. “Apa maksudmu?” ku tatap wajahnya kini. “hanya secarik kertas yang bisa menghubungkan kita May! Walau kita…” katanya terpotong.
“CUKUP!!! Aku tidak mau mendengar lagi! Hentikan!” kini tenggorokanku berubah menjadi tegang. Airmataku terbendung. ”Aku tidak boleh menangis” kataku dalam hati. “Aku memang bersalah seharusnya ku ceritakan semua” wajah Mas Radit berubah  menjadi sendu. “Mas, mas tahu, bahwa hanya lewat menulis aku…. “ karena tidak tahan aku pun hendak berlari namun mas Radit memegang tanganku. “Aku minta maaf!” kini airmata jatuh dari mata Mas Radit. Aku benci saat ini, aku benci mas Radit yang tiba-tiba tidak menjawab surat-surat dariku yang selalu di balasnya. Aku benci saat harus melihatnya disini, menatapku dengan airmata. “Aku memang bersalah, tapi kau harus tahu satu hal, aku selalu menjawab surat-surat darimu, aku selalu menulis untuk mengobati rinduku padamu, karena hanya lewat secarik kertas yang ku tulis inilah yang dapat membuatku tetap terhubung padamu, May!” kini dia memelukku. “Lepaskan aku, jika memang begitu? Kenapa kau tidak mengirimnya, Mas? Kenapa?” teriakku tanpa sadar airmataku juga ikut meleleh. “Itu karena…” kata-kata mas Radit terpotong.
“Mas…!!!” suara seorang perempuan itu menyapa lembut. Kulihat seorang perempuan tengah hamil tua. Kini aku sadar semua. Kenapa mas Radit tidak menjawab surat-surat dariku! Kenapa dia tidak menjawab setiap ku berusaha menghubunginya melalui teman-temannya. Kini ku mengerti semua itu. Airmata mulai merambat di pelupuk mataku, aku yakin bisa memendamnya lebih lama lagi. Ku lepaskan pelukan Mas Radit dan berlari pergi. “May, dengarkan aku! Ini… ini salah paham May! Biar aku jelaskan May!” dia mengejarku. Aku berontak namun dia lebih kuat jadi aku mengikuti maunya.
“Dengarkan aku May, aku bukan ayah kandung dari bayi itu! Aku hanya disuruh… disuruh menikahinya!” kata-kata menghujamku keras. Ku tatap gadis yang hamil tersebut. Dia masih muda seumur denganku atau mungkin dibawahku. Aku pun menjadi iba. Ku beranikan diri menatap Mas Radit. “Mas Radit, jika memang benar begitu, aku memaafkanmu. Aku mengerti, jadi tetaplah menulis di kertas-kertas lain agar kita masih bisa bersama mas! Tenang saja, jagalah anak itu baik-baik juga ibunya! Kita masih bisa bersama mas! Tenang saja!” tak kuat aku lepaskan cengkraman tangan mas Radit dan berlari lagi lebih cepat agar mas Radit tidak bisa menangkapku. Hanya satu yang ku tahu. Kau tidak bisa menjadi milikku lagi mas. Kau sebaiknya bahagia bersamanya, dia lebih membutuhkanmu dibanding aku. Aku hanya percaya satu hal. Menulis, ya dengan menulis ku yakin kau dan aku masih bisa bersama lewat secarik kertas yang di tulis.

Rosmawati Sintauli Tiofanta Manalu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar