Minggu, 17 Juni 2012

KEMENANGAN TERAKHIR


“Sekarang tinggal babak penentuan sipakah yang akan jadi pemenang Aghita Melanie dari SMA Putri 12 atau Riska Victori dari SMA Harapan Nusa. Kita saksikan bersama-sama, kita lihat Agitha mulai member servis…” ujar sang komentator. Agitha terlihat lelah sekali. Sekujur tubuhnya penuh dengan keringat. Sebenarnya dia sudah tidak kuat. Belum lagi tangan kananya yang mengalami cedera akibat kejadian waktu itu. “Gue harus kuat. Gue harus menang”, serunya dalam hati. Ia pun memulainya dengan member servis. “Kita lihat penonton, Riska membalasnya, Agitha pun tidak mau kalah. Dan, oh… itu kesempatan untuk memberikan smash….”. Agitha pun meloncat dan…. Kriingg…kriingg suara alarm berbunyi. Agitha lalu bangun dan terkejut. Ia baru sadar ternyata itu hanya mimpi. Ia segera mematikan alarm tersebut dan menuju kamar mandi. Sebelumnya, ia mengambil handuk yang tergantung di dekat lemarinya. Ia tertegun melihat foto-foto itu. “Gue mimpi yang sama lagi, padahal itu udah 4 Tahun yang lalu. Bahkan gue udah mulai lupa soal….”. disaat itulah pintu kamarnya terbuka. Tampak Ryan, adiknya sedang terengah-engah. “Kak, ada apa?” Ryan lalu menarik  tangan Agitha menuju ruang itu. Disana Ibunya sedang sibuk menyiapkan sarapan. “Loh, loh ada apa ini Ryan, kenapa kamu tarik-tarik tangan Kakakmu”, Tanya Ibu. “Aduh, Ibu minggir dulu. Ada yang penting”, seru Ryan lalu menyalakan TV dan mencari-cari Channel. Agitha lalu bingung melihat adiknya yang sedang sibuk tersebut. “Githa, kamu udah mandi? Mandi dulu sana. Anak perawan kok belum mandi”, kata sang Ibu. “Tadinya aku mau mandi, Bu. Tapi si Ryan udah….” Kata-katanya dipotong oleh Ryan. “kak, lihat tuh lihat!” Ryan menunjuk-nunjuk Televisi. Agitha lalu terdiam tanpa geming melihat siaran pada channel tersebut. Ia menelan ludahnya. “riska Victori kembali menjadi juara pertama Uber Cup Kelas Putri Tahun ini setelah 4 Tahun berturut-turut semenjak mengalahkan pebulutangkis handal tingkat SMA yaitu Agitha Melanie 4 Tahun lalu…” ujar sang komentator. Agitha lalu teringat saat-saat yang merubahkan nasibnya tersebut. “Agitha melompat dan…. Wah, saying sekali smashnya kurang kuat dan menyebabkan Riska Victori dari SMA Harapan Nusa sebagai pemenang”, kata sanag komentator. “Hore, akhirnya gue menang”, ujar Riska senang. Agitha hanya diam melihat kemenangan Riska sambil memegang lengan sebelah kanannya. Ia lalu mengalihkan pandangannya pada teman-temannya, guru, dan keluarga terutama pada Ayahnya, sang Pelatih . mereka semua kecewa akan kekalahan Agitha. Terutama Ayahnya langsung pergi begitu saja, ketika Agitha menatapnya.
***
Githa, loe dah kerjain tugas yang dikasih Pak Rozak, kan?” Tanya Bima. Agitha tidak menghiraukan pertanyaan Bima. Ia malah melamun mengingat kejadian tadi pagi. “Git, Githa….” Seru Bima. “A… apa Bim?” Tanya Agitha. “Kok loe bengong sih, gue nanya loe udah kerjain tugas Pak. Rozak, kan?” Tanya Bima lagi. “Oh, udah kok”, jawab Agitha pelan. Ia kembali melamun. Bima, sahabatnya dari SMA mengamati raut wajah Agitha. “Bim”, Tanya Agita. “A…apa?” ujar Bima yang kikuk karena dia tadi mengamati wajah Agitha dengan seksama. “Loe lihat acara Uber Cup tadi pagi gak?” Tanya Agitha dengan pandangan kosong. “Oh, gue lihat kok. Jangan-jangan itu yang lagi loe pikirin ya?” Tanya Bima penasaran. Lalu Agitha berdiri dan beranjak pergi. “Githa”, seru Bima. Dan disitulah muncul para gadis-gadis nyebelin di muka bumi ini. Cewek-cewek yang ngerasa dirinya itu 10 sementara yang lain 0 besar. “Hai, Agitha tadi pagi loe lihat acara pengumuman pemenang Uber Cup kan?” ujar Nira dengan genit. “Absolutely, dong.  Masa sih seorang Agitha Melanie gak ngeliat waktu ‘ Risak Vactori’ menang untuk ke empat kalinya”, ujar sang Nenek Bawel, Diana. “Iya, gue lihat!terus kenapa?” jawab Agitha datar. “OMG, Agitha, please ya. Walau itu cumin acara ulangan doing. Tapi loe lihat dong. Temen gue gitu si cantik Riska victori menang lagi. Itu amazing banget!” seru Diana lebay. “Ya, walau baru 4 kali sih, tapi loe tahu gak dia itu bisa ngeraih Uber Cup selama 4 kali setelah ngalahin loe, Agitha Melanie”, seru mereka bersamaan. Agitha merasa air matanya mulai merebak . “Githa, loe ngapain sih dengerin cewek-cewek  centil nan ganjen ini. Mending kita ke kelas. Ayo Bima menarik tangan Agitha. “Aduh, Bima. Ngapain sih loe masih stay sama cewek yang malu-maluin kayak dia. Mending loe sama kita-kita aja”, ujar 2 nenek ganjen itu lagi. Ketika Bima mengajak Agitha untuk pergi di situlah muncul Riska Victori. “hai, Githa”, seru Riska. “Ri…Riska…” Agitha terkejut. “Kok loe, udah…” Tanya Bima bingung. “Loe pasti bingung, kenapa tiba-tiba gue udah di kampus. Acara Uber Cup tadi pagi cumin di ulang doang. And gue sebenarnya baru pulang tadi pagi sih. Tapi karena karena gue (melirik kea rah Agitha) pengen banget ketemu teman gue yang baik ini, Agitha. Jadi, gue buru-buru ke kampus”, seru Riska dengan senyum mengandung makna tersebut. “Oh, iya Githa. Thank’s banget loh, waktu itu loe mau kalah buat gue. Jadinya kan sekarang gue bisa rasain yang namanya jadi pemenang”, tambahnya. Agitha kembali menahan air matanya. “Oh, gitu ya. Gita, (menarik tangan Agitha dan memeluknya) kita kekantin aja yuk”, ajak Bima. Raut wajah Riska berubah nampaknya dia menyukai Bima dan kesal melihat Bima memeluk Agitha. Agitha pun aneh melihat tingkah Bima. “Oh, ya Riska selmata ya atas kemenangan loe, bye”, ucap Bima. “Bima, kok loe gitu sih”, seru Riska. “Bim, lepasin gue dong. Riska selamat ya atas kemenangan kamu. Aku ikut senang. Dan aku gak ada apa-apa kok sama Bima”, ujar Agitha. Bima lalu bertanya, kok loe ngomong gitu sih, Git?”. “Pokoknya, loe gak usah cemas Ris”, ujar Agitha lalu pergi meninggalkan Bima dan Riska. “Githa…Agitha…” panggil Bima. “Bima, udah biarin aja. Mending loe sama gue” saran Riska. “Apaan sih loe” seru Bima. Lalu mengejar Agitha. “Bima….Argghhh, awas loe Git!!” seru Riska kesal.
***
“Githa, (Bima menarik tangan Agitha) loe kenapa sih?” Tanya Bima. Agitha diam dan ia mulai menangis. “Gue, gue gak tahan lagi. Gue gak tahan Bim”, seru Agitha. “githa, loe tenang aja. Gue akan selalu ada disamping loe”, ujar Bima lembut. “Bima, loe lihat kan, Riska udah menang dari gue dan dia udah ngambil semuanya, terus….” Agitha menghentikan kata-katanya. “Terus apa? Lanjutin Git!” Bima penasaran. Lalu Agitha duduk, dia menangis. “Kalau aja, waktu itu gue gak pergi ke tempat itu. Dan kalau aja, gue ngebiarin anak itu dan kalau aja gue gak jatuh dengan lengan kanan sebagai penahan dan kalau aja lukanya gak parah. Gue pasti udah bisa menang. Iya, kan Bima?” Tanya Agitha. “Git, itu semua udah terjadi. Jadi, loe enggak usah terus menerus menyalahkan diri loe sendiri. Udah lupain aja”, hibur Bima. Agitha diam sejenak. Semilir angin dating menyapu rambut Agitha yang dikuncir kuda. Bima mengamati wajah Agitha, ia sedih karena wajah itu tidak sama seperti dulu. “Seharusnya, gue enggak jadi orang baik. Harusnya gue jadi orang yang gampang sedih melihat orang lain menderita. Harusnya gue jadi orang sombong, angkuh, dan gue gak peduli sama orang lain”, ucap Agitha dingin. Bima tidak percaya dengan apa yang baru diucapkan Agitha. Ia lalu berkata, “Jadi, maksud loe. Loe mau kayak si Riska. Angkuh, sombong, ambisius, dan gak peduli hal apa pun, gitu”, Tanya BIma. Suaranya meninggi. “Tapi, dengan begitu. Dia bisa menang, kan? Dengan gak peduli sama orang lain, dia bisa berhasil, kan? Suara Agitha pun mulai meninggi. “Oke, loe jadi dia aja, Gita yang sombong, angkuh, ambisius, dan lainnya. Loe emang udah berubah bukan kayak Agitha yang gue kenal”, seru Bima sengit. “Gue emang udah berubah. Loe lihat dong, Bim. Semua orang ngelecehin gue. Semua orang menganggap gue pecundang. Sampai-sampai Ayah gue, Bim. Ayah gue ninggalin gue sama nyokap dan adik gue. Itu gara-gara gue kalah…” tambah Agitha. “Cukup, cukup Agitha. Gue gak mau denger lagi. Sekarang semua terserah loe”, setelah mengatakan itu Bima pergi meninggalkan Agitha sendirian. Agitha semakin menangis dan tangisannya semakin kencang. “Ayah, maafin Agitha. Maaf Yah”, ucap Agitha lirih.

Kenangan Bunga Lily (lanjutan)


“Maaf ya, Indri. Kak Rizal gak menepati janji Kakak”, ujar cowok pujaan para mahasiswi tersebut. Aku lalu menatap wajanya terlihat disana Kak Rizal merasa bersalah karena tidak bisa menepati janjinya padaku. “Sudahlah Kak, yang udah terjadi gak bisa dirubah. Aku gak apa-apa kok”, seruku menghiburnya. Kak Rizal lalu tersenyum lega. “Indri, Kakak benar-benar minta maaf. Kaka mau melakukan apa pun deh untuk membayar kesalahan Kakak”, tambahnya. Aku merasa terhru dengan ucapan Kak Rizal. Kak Rizal benar-benar cowok yang baik dan bertanggung jawab. Enggak kayak si Ivan. Kok gue ngomongin dia”, dalam hati aku berkata sendiri. “Kak Rizal, gue gak mau duduk di belakang. Gue mau duduk di depan”, seru suara Baritone tersebut. “Ivan, kenapa kamu di Bus bukannya kamu bawa mobil sendiri??” Tanya Kak Rizal yang terkejut melihat Ivan. Aku sudah tidak terkejut lagi kenapa Ivan ada di sini. “Bukannya udah jelas ya, Kak dia kan disini cumin mau bikin onar”, seruku tajam. “Heh, Indri. Kenapa sih loe sewot banget. Niat gue tuh baik tau. Kak Rizal lagi, kalau orang ikut penggalangan dana pastinya naik Bus. Masa Iya sih, gue tega ngebiarin kalian naik Bus yang busuk ini, sementara gue duduk di mobil dengan nyaman, gak lah, gue gak setega itu”, sambil membusungkan dada. Aku tidak percaya, dia berani bilang kalau Bus yang di sewa dengan harga Dua Juta semalam ini disebut sebagai Bus Busuk. “Kak Rizal, karena aku sudah di dalam Bus ini dan tempat yang kosong hanya di belakang….” Ivan menghentikan kata-katanya sejenak. Aku berani bertaruh, dia bermaksud menyuruh Kak Rizal duduk di belakang dan tadi dia juga sudah mengatakan hal tersebut. “Van, sorry bukannya gue gak mau. Tapi, gue disini mau nemenin Indri. Elsa kan gak bisa ikut karena sakit. Terus gue gak bisa nepatin janji gue untuk gak….” Kak Rizal tidak melanjutkan. “Untuk gak bawa pembuat onar dan keributan serta yang lainnya, gitu” Suara Ivan meninggi. Kak Rizal segera berkata, “ e… enggak kok, enggak mungkinlah, Van”.  “Kalo loe sadar gue diinginkan disini. Kenapa loe tetep dating. Itu namanya kekanak-kanakkan, tau”, ujarku semakin tajam. Ivan menatapku dengan sengit. Aku juga tidak kalah sengit untuk menatapnya. Kak Rizal benarkok anak orang kaya itu, rata-rata ngerasa dirinya hebat. Makanya selalu ngejatuhin orang sesuka jidatnya”, Imbuhku. “Indri, loe itu ya….”. ivan tidak menyelesaikan kata-katanya. “Apa? Kenpa? Loe gak bisa ngebales gue?” kini suaraku meninggi.
***
Dua hari sebelumnya. “Oh, oke deh kalo gitu. Iya, tenang aja deh”, seru Kak Rizal lewat handphone. “Makasih banyak Kak Rizal. Maaf ya ngerepotin”, ujarku. “Hehe, tenang Indri. Gak ngerepotin kok. Udah dulu ya, bye” suara pembicaraan terhenti. Kak Rizal lalu mengambil beberapa kertas lalu mulai menulis. Disaat itu Kak Irma dating. “Zal, barang-barang yang mau dijual udah loe buat daftarnya kan?” tanyanya. “Udah kok. Eh, Irma, loe ketik ini yah”, seraya memberikan selembar kertas. Kak Irma mengambilnya dan membacanya.”Indri jadi ikut?” tanyanya. Kak Rizal mengangguk, “Iya, asal gak ada pembuat onar dan keributan “, Kak Irma tertawa.”Maksudnya si Ivan?” tanyanya lagi. Kak Rizal mengangguk lagi. “Ya, udah deh. Gue ketik dulu. Oh, iya supir Bus yang kemarin loe telepon ada di depan tuh”, ujarnya. “Ok, nanti gue ke depan”, jawab Kak Rizal. Setelah Kak Irma pergi, tidak lama kemudian terdengar suara orang yang sedang beradu mulut. Kak Rizal bertanya-tanya dalam hati. “Siapa sih yang rebut-ribut”. “Gak pokoknya Ivan gak mau, pa”, seru Ivan seraya membuka pintu ruang sekretariat. Ia lalu duduk di depan Kak Rizal yang terkejut melihat kedatangannya. “Ivan, gimana kamu jadi mahasiswa yang baik kalau untuk acara penggalangan dana aja kamu enggak ikut!” seru seorang Bapak yang terlihat masih cukup muda yaitu Ayah Ivan. “Enggak, pa. sekalinya enggak ya tetap enggak”, ujar Ivan kesal. Kak Rizal lalu berdiri dan member hormat. “Prof, gimana kabarnya. Silahkan duduk”, Tanya Kak Rizal sopan”. “Saya baik-baik saja. Rizal tolong masukin Ivan ke dalam daftar penggalangan dana” seru Prof. Suryo seraya duduk. “Pa, Ivan gak mau. Lagian gak penting banget sih, ikut acara amal gak jelas gitu. Rizal, awas kalau loe masukin nama gue. Gue gak akan dating”, ujarnya sengit. “Ivan! Kamu ini jadi anak kok ngeyel diomongin. Rizal, kamu harus mencantumkan nama dia. Titik”, seru ayah Ivan lagi. Kak Rizal pun kebingungan dan tidak tahu harus bagaimana. “Papa, kenapa sih papa selalu maksain kehendak papa”, teriak Ivan. “Ivan!!...” lalu bunyi handphone bordering. Ayah Ivan segera mengangkatnya dan berbicara cukup serius. “Ivan, kamu harus tetap ikut! Rizal, cantumkan nama Ivan. Papa pergi dulu. Jangan lupa, Rizal”, ujar Ayah Ivan lalu pergi. “Hati-hati Prof”, kata Kak Rizal. Ivan lalu berdiri dari kursinya dan berkata, “rizal, awas ya kalau loe masukin  nama gue. Gue gak akan dating”. “Tenang aja, gue gak akan masukin nama loe kok”, seru Kak Rizal sambil tersenyum. Ivan lalu berjalan keluar diaat itulah Kak Irma masuk. Namun, kok Irma tidak berpapasan dengan Irvan. “Zal, Indri mau dimasukin kelompok dana berapa?” Tanya Kak Irma cukup keras sehingga Ivan mendengar perkataannya. “Indri? Karenia Indrieta”, Ivan lalu tersenyum di otaknya sudah terancang sebuah rencana.
***
“Buat yang Putri kemahnya warna biru. Buat yang Putra warna hijau tua. Silahkan masuk dan istirahat”, seru Kak Rizal melalui toak. Ku tenteng task u dengan malas. Ku arahkan pandanganku ke sekeliling. “Udaranya masih sejuk”, ujarku dalam hati. “Aduh, Ivan berat nih”, seru Edi. “Udah, deh gak usah banyak cincong. Angkat aja kek”, jawab Ivan. Ku lihat Ivan berjalan santai tanpa membawa apa pun kecuali kamera yang tergantung di lehernya. Sedangkan teman-temannya, tunggu, taman-teman Ivan? Astaga, mereka semua ikut! Aku yakin sekali pasti teman-teman Ivan yang membawa mobil Ivan, sedangkan Ivan ikut dalam Bus. Sumpah, ngeselin banget. “Kenapa loe?kok ngelihatin gue? Loe naksir sama gue?”, seru Ivan. Aku lalu membuang muka dan berjalan cepat menuju kedalam kemah. “Amit-amit deh. Kayak loe satu-satunya cowok ganteng di muka bumi aja”, seruku tidak kepada siapa pun. Sampai di dekat kemah, aku mencari namaku yag sudah di temple pada kertas daftar nama di depan tenda. “karenia Indrieta, ini dia”, seruku ketika aku menemukan namaku, segera ku buka pintu kemah dan aku terkejut bukan main ternyata sudah ada seorang perempuan di dalamnya. Untuk menghilangkan rasa terkejutku, aku menyapa dia. “Hei, loe disini juga”, sapaku. Dia mengangguk. Aku lalu masuk dan mencari tempat untukku merapikan barangku. Karena penasaran aku lalu bertanya. “Eh, nama loe siapa? Gue Indri, gue mau nanya kok loe udah nyampe disini duluan ya, hehe”. Dia tersenyum dan berkata, “Gue Tasya. Seneng, deh ketemu loe lagi,,Lily” ujarnya lembut. Aku terdiam mendengar perkataannya.
***


Kenangan Bunga Lily


“Hoahhmm,” aku menengok ke sebelah kanan ternyata seorang Bapak yang berpakaian kusam sedang menguap. “Ih, bau banget”, ujarku dalam hati. Kualihkan pandanganku ke kiri mencari-cari kursi kosong yang bisa ku tempati.sayangnya pagi itu bukanlah hari keberuntunganku. “seharusnya gue duduk di depan, tempat khusus wanita, tapi gue malah terdampar di tempat ini. Mana Bapak-bapak semua lagi”, keluhku dalam hati. Ku ambil MP3 dan menyalakan lagu apa saja yang dapat membuat hari ini tidak lebih menyebalkan. “Hill song aja deh”, lalu ku ambil earphone dan memasangnyadi telinga plus volume yang ku buat full. Ku gerakkan kepala perlahan-lahan. Aku sangat menikmati lagu itu membuatku lupa akan kejadian pagi ini. Gas ku yang habis ketika ku ingin membuat sarapan pagi ini, buku PR Ekonomi yang di ambil di Elsa kemarin untuk di salin, sepatu paforitku yang di ambil tukang beling waktu ku jemur di dekat pohon, Bapak-bapak yang menguap seenak jidat. “Woy”, ku buka mataku, kaya nya ada yang manggil gue. Apa perasaan gue doing kali ya”, Tanya ku dalam hati. “Woy, bangun!!” teriaknya lagi. Ku buka mataku lagi. “Beneran ada yang manggil gue? Tapi masa sih?” Tanya ku lagi. Lau tangan itu melepaskan earphone ku perlahan dan spontan aku menenngadah ke atas. (karena tanpa ku sadar aku tertidur dalam keadaan kepala menunduk ke bawah). “Hah?” teriakku terkejut seorang lelaki berkulit putih bersih dan bermata sipit menatapku dekat. “Heh, mau ngapain loe? Ngapain loe ngeliatin gue”, teriak ku keras. Setengah dari penumpang Busway tersebut mengalihkan pandangannya padaku. Aku lalu merasa bersalah karena sudah berteriak dengan keras. “Heh, cewek jutuek! Cepetan loe berdiri”, bisik nya sambil mendekatkan wajahnya padaku. “Buat apa gue berdiri, loe mau ngerebut kursi ya? Enak aja loe! Ngalah dikit ke sama cewek”, jawabku. Dia lalu tersenyum kesal. “Siapa juga yang mau ngambil kursi loe. Loe lihat dong ke sebelah kiri”, ujarnya. “Ogah, gue gak mau. Dasar cowok banci. Nggak bisa ngalah sama cewek. “Kuberikan dia tatapan ku yang paling tajam. “Heh, loe itu ya….” Kata-kata terpotong. “Mbak, boleh gak saya duduk di situ”, ujar seorang perempuan. Lalu aku menoleh ke arahnya dank u lihat seorang Ibu tengah hamil tua dan nampaknya dia butuh duduk. Aku pun langsung berdiri dan mempersilahkan dia duduk. “Oh bu, silahkan duduk! Silahkan Bu!” sambil tersenyum ramah. “makasih ya mbak”, jawabnya. Aku langsung mengangguk sambil tersenyum manis. “So imut!”. Senyumanku lalu memudar ketika mendengar kata-kata itu. Dalam hati aku berkata “huft, ngeselin banget sih loe”. Sambil menatap cowok yang selalu mencari gara-gara denganku ini.”Apa?” tanyaku padanya. Aku lalu mengalihkan perhatianku pada yang lain sambil meremas-remas tanganku.
***
“Hah? Heh, mau ngapain loe? Ngapain loe ngeliatin gue” segerombolan cowok-cowok itu pun tertawa. “Suer, lucu banget van”, ujar salah satu cowok yang ku kenal sebagai Edi. “Padahal loe tau gak niat gue itu nyuruh dia berdiri buat ngasih itu kursi ke Ibu-ibu yang lagi hamil. Eh, dia nya malah ogah, gue gak mau. Gak percayaan banget kalau diomongin. Giliran Ibu hamil itu mintadia buat ngasih tempat duduk, dengan wajah sok imutnya ngasih dikasih deh tuh tempat duduk. Haha, parah, gokil”, ceritanya sambil terbahak-bahak. Mahasiswa lain pun ikut tertawa mendengar cerita dari Ivan, anak sok medis, ganteng, kaya, pintar, ramah, baik, dan segala hal yang menurut cewek sempurna. Padahal menurutku dia cumin cowok gak penting di muka bumi ini. “Makanya kalau loe  nggak sanggup ngambil Ekonomi. Gak usah di ambil mendingan ngambil jurusan apa kek yang nggak bikin loe ngantuk dan ketiduran di busway. Gara-gara sibuk ngapalin tugas. Hahaha”, serunya lagi. Para mahasiswa lain kembali tertawa keras. Aku sudah tidak sanggup mendengar ocehannya ketika aku bediri untuk menghampiri dan mengahajarnya disitulah tangan Elsa menahanku. “Udahlah Ndri gak usah loe dengerin kata-kata dia”, ujarnya. “Tapi gue udah gak tahan Sa. Loe lihat dong semua mahasiswa di kantin ini ngetawain gue”, ujarku geram. “udah deh mending kita ke kelas aja, ayo” ditariknya tanganku. “Eh, mau kemana loe? Tadi loe teriak-teriak di busway. Kenapa sekarang suara loe gak kedengeran?” seru Ivan sambil terkekh. Elsa member sinyal untuk aku menghiraukannya. Namun aku lepaskan tanganku dari cengkraman Elsa lalu berjalan menuju Ivan. “Alexandro Ivanio Kuncoro Jadmiko, cowok sok ganteng, modis, ramah, baik, dan pinter! Udah puas loe ngehina gue? Lahian nih ya, lao dipikir-pikir kok bisa ya cowok tajir kayak oe naik busway ke kampus? Apa enggak jatoh pamor loe yang ngalahin pamornya patung Liberty? Atau loe dipecat jadi anak sama ortu loe yang masuk Top Five orang terkaya Indonesia itu, jadinya loe naik busway deh, upss kasihan banget y aloe!” ujarku senang sambil tersenyum menag. Kulihat rona wajah Ivan berubah menjadi merah padam. Wajahnya yang putih bersih kini mirip kepiting rebus. Belum lagi mahasiswa lain yang bertanya-tanya karena mikir kenapa cowok setajir Ivan bisa naik Busway. “Van, loe gak beneran….” Edi tidak sanggup menyelesaikan kata-katanya. “diam loe! Gak mungkin lah!” seru Ivan. Aku berjalan maju mendekati Ivan. “kudekatkan wajahku lalu berkata, Apa? Loe malu? Sekarang loe bisa rasain kana pa yang gue rasain dari tadi, waktu anak-anak ngetawain gue! Cowok banci”. Setelah berkata itu aku pergi menuju kelas. “Karenia Indrieta” teriak Ivan sambil meremas tangannya. Lalu aku menoleh sejenak sambil tersenyum menang.
***
“Sumpah, parah banget loe. Tapi jujur ya gue masih lucu ngeliat raut wajah si Ivan pas loe ngomongin soal kenapa dia naik Busway. Mukanya itu loh kayak kepiting rebus. Haha”, ujar Elsa ketika kami selesai kelas. Aku hanya diam. Jujur saja aku usah tidak peduli akan kejadian itu. “tapi hari ini, gue bener-bener sial!” Keluhku kesal. “Udahlah, yang udah terjadi enggak bisa diapa-apain lagi. Mending loe Have fun aja”, ujarnya lembut. Aku lalu tersenyum mengangguk. “eh, Indri kamu disini ternyata”, kata Rizal sang Ktua Kemahasiswaan. “Kak Rizal, ada apa?” tanyaku. “Kamu ikut acara penggalangan dana kampus kita kan? Kalau tidak salah kamu masuk daftar”, ujarnya lagi. “oh, itu kemarin Prof. Agung udah bilang sama aku. Tapi aku masih belum tahu kak”, sambil menggaruk kepalku yang sama sekali tidak gatal. “Loh, emang kenpa? Cuman 4 hari doing kok, dan ada acara Outbondnya kok. Udah ikut aja ya..” pinta Kak rizal. “Udahlah, mending loe ikut aja Indri. Ya, kan Kak Rizal”, seru Elsa sambil tersenyum manis pada Kak Rizal cowok idamannya. “Kalau kamu mau, Kakak bisa usahain biar Elsa bisa ikut juga, gimana?’ Tanya Kak Rizal lagi. Elsa tersenyum senang. “Aku boleh ikut juga, Kak? Asik, Indri loe ikut aja deh, ada gue kok”, paksanya. “Ih, init uh bukannya soal ad aloe atau enggaknya, gue takut ada acara pas hari H nya”, sergahku. “Ya, udah nanti kita omongin lagi. Sekarang Kakak hrus masuk kelas dulu. Sampai ketemu nanti Indri sama Elsa” seraya pergi. “Dah Kak Rizal tenang aja kak. Aku bakal bikin Indri ikut deh. Dah” teriaknya. Aku hanya mendengus. Kak Rizal cowok impian Elsa. Sejak masuk kampus hingga semester ketiga ini. Elsa masih stay suka sama cowok yang pintar dan jago renang ini. Enggak putih-putih amat sih, tapi Kak Rizal emang manis ditambah dengan tubuhnya yang Atletis. Cowok semester enam yang ngambil Jurusan Arsitektur ini menjadi incaran setiap kaum hawa di kampus. Tapi, Kak Rizal enggak pernah ngelirik mereka sekalipun. “Heh, Karenia Indrieta, mending loe ikut aja. Nggak pake enggak. Titik” perintahnya. “Elsa gue bukannya gak mau, tapi loe tahu kan kalo….” Kata-kata ku terpotong. “Enggak, pokoknya loe harus ikut. Titik. Enggak pake koma. Loe ihat dong Kak Rizal cowok se perfect itu mohon-mohon sama loe buat ikut acara penggalangan dana! Keren banget gak sih? Loe tuh beruntung, tau!” serunya membuatku kehilangan kata-kata. “Ok, gue ikut tapi loe harus janji gak bakalan pinjem tugas Ekonomi gue selama satu minggu, gimana?” tanyaku membuat Elsa cemberut. “Kok loe gitu sih? Apa hubungannya tugas Ekomoni yang sering gue pinjem sama penggalangan dana?” jawabnya membela. “Bodo, pokoknya gue ikut kalo loe gak minjem and nyalin tugas gue selama 1 minggu. Deal?” aku ulurkan tanganku. Elsa berpikir sejenak lalu “Oke, gue setuju! Toh Cuma 1 minggu. Awas kalo loe ga ikut”, ujarnya. “Oke, gue gak akan bohong”.
***
Lalu seminggu kemudian ketika hari keberangkatan. “Apa? Loe gak bisa ikut? Terus gue sendiri dong! Kok loe bohong sih, sa?” tanyaku melalui Handphone. “Maap deh. Ndri. Sebenarnya kemarin gue masih sehat. Tapi semalem gue minum jus alpukat. Terus badan gue langsung anget dan gue bersin-bersin”, jawabnya dengan suaranya yang mindeng. “loe sih? Udah tau alergi sama alpukat masih aja nekad minum! Mending sekarang loe istirahat deh, biar cepet sehat” saranku. “Ya, gue istirahat hati-hati ya Ndri, semoga hari loe menyenangkan. Bye”, suara pembicaraan terputus. Aku masukkan handphone ku k etas dan bergegas menuju kampus. Sampai di kampus kulihat 3 bus pariwisata sudah terparkir rapi di depan. Ku lihat juga Kak Irma, sang Wakil Ketua Kemahasiswaan. “Kak Irma” sapaku. “hei, Indri. Wah, makasih yah sudah mau ikut serta dalam acara ini”, serunya. Kak Irma adalah sensor kedua setelah kak Rizal yang baik padaku. Dia mahasiswa Jurusan Farmasi semester lima. “Oh, gak masalah kok, tapi…” Tapia apa? Tanyanya. Aku dekatkan mulutku kekupingnya. “Gak ada yang namanya si pembuat onar dan keributan serta yang lainnya itu kan?” bisikku. Kak Irma tersenyum. “Tentu saja, Kakak juga lebih suka ketenangan dibanding keributan”, aku ikut tersenyum. “Oke deh, kak aku ke ruang secretariat dulu ya. Kak Rizal udah dating kan?” Tanyaku. “Oh, udah kok. Ya, udah kamu kesana aja”. Segera aku langkahkan kaki ku menuju ruang secretariat dan betul di depan pintu ruang secretariat Kak Rizal sedang sibuk berbicara dengan mahasiswa lain. Ku tunggu sampai Kak Rizal selesai berbincang dengan mereka. “hei, Kak Rizal”, sapaku ketika para mahasiswa itu sudah pergi. “Eh, Indri kamu sudah dating?” tanyanya dengan raut wajah bingung. “iya dong, Kak aku kan gak mau telat. Kaka kenpa sih kok wajahnya kebingungan gitu”, tanyaku. “Oh, enggak kok. Kakak baik-baik saja. Tapi sebenarnya, Indri soal permintaan kamu yang….” Kulihat Kak Rizal tampak sangat kebingungan. “Soal apa?” tanyaku. “Soal gak boleh ada pembuat onar dan keributan serta yang lainnya itu”. “Oh, itu kata Kak Irma sudah beres. Gak ada hal-hal itu terima kasih ya, Kak. Aku jadi ngerepotin”, seruku senang. “Tapi, Indri…”. “Kak Rizal, kapan berangkatnya”, seorang cowok berkulit putih muncul dari ruang sekretariat. Aku langsung terkejut. “Ivan…” Dia lalu tersenyum padaku. “Kok cuman ‘Ivan’ nama gue kan Alexandro Ivano Suryono Jadmiko, betul kan, Karenia Indrieta?” kata cowok menyebalkan itu.
***

Cinta Selembut Kapas


“Ibu, bilang Hidup itu seperti kuas yang menggores kanvas dan Cinta itu seperti kapas. Aku suka kapas karena kapas selalu bisa membantuku menghentikan luka akibat memar di tubuh”, seru Annisa. Ia melepaskan kapas dari satu bagian yang lain lalu menggulung kapas tersebut menjadi gumpalan kecil. “Rio, kamu setuju sama pendapatku?” Tanya Annisa. “Hhm, sedikit. Aku juga suka kapas soalnya unik aja”, seru cowok berdarah Thailand dan Perancis-Indo itu. Annisa menengadahkan wajahnya ke langit. Hari itu langit cukup cerah di Taman Asri. Bunga Bakung dan Bunga Teratai yang hidup dalam kelompok kecil di pinggiran danau, tersenyum penuh semangat menyambut matahari yang riang gembira. Bakan ikan-ikan kecil di danau ikut gembir, sesekali ikan-ikan itu mendekati kaki panjang nan indah milik Annisa yang masuk ke dalam danau tersebut. Dengan hanya dibalut tanktop hijau dan Jeans pendek putih, Annisa tak canggung bertemu dengan Rio teman baru sekolahnya.
***
“Nama saya Alfonso Armadillo Rio. Saya biasa dipanggil Rio,senang berkenalan denga teman-teman”, Ro membungkukkan badannya. “Oke Rio, sekarang kamu duduk dibelakang Annisa”, seru Ibu Felis. Rio mengangguk dan bergegas duduk dibelakang gadis manis bernama Annisa. “Hai, namaku Rio.nama kamu siapa?” Tanya Rio sambil mencodongkan badannya ke depan. “Nama itu adalah tanda-tanda itu adalah arti sebuah peristiwa. Dan aku enggak mau terjadi peristiwa apapun”, kata Annisa lalu kembali menulis dalam buku catatan. “Cewek aneh diajak kenalan malah ngasih syair”, piker Rio dalam hati.
***
Jam istirahat berbunyi. Rio segera bergegas ke kantin bersama teman-teman barunya. “Woy Rio, pas di Paris kamu sekolah dimana?” ujar Martin. “Oh, aku homeschooling”, jawabnya. “Gila, keren banget. Kamu kan masih SD, masa udah homeschooling. Suer, mantap!” seru Vino. Rio tersenyum. Ia dan teman-temannya menyantap batagor yang sudah mereka pesan. Tatkala, Rio melihat gadis manis berambut panjang itu duduk dibawah pohon mangga sambil membuka kotak makanannya. Rio lalu mengahmpiri gadis manis tersebut. “Disini selalu terasa sejuk.aku suka disini”, seru Annisa pada dirinya sendiri. “Hei, kamu Annisa kan? Boleh aku duduk disini?” Tanya Rio. “Manusia Hidup di dunia ini punya Hak Asasi. Jadi, apapun yang kamu lakukan, lakukan saja tidak ada yang melarang”, seru Annisa lembut. “Oh, okay. I know it”, kata Rio sambil duduk disamping Annisa dengan kikuk. Rio berdeham, “Hhm, Annisa, aku boleh Tanya sesuatu gak?” Annisa mengangguk. “Kamu kan masih SD, kenapa cara bicaramu berat gitu sih?” Tanya Rio ingin tahu. “Sikap dan tingkah laku tidak terikat pada usia ataupun pengalaman. Tetapi terikat pada keinginan manusia itu sendiri”, jelasnya. “Okay, tapi kurasa itu kurang pantas untuk diucapkan seorang bocah yang masih berumur 10 Tahun!”, seru Rio membela. “Dengar ya, Alfonso Armadillo Rio, apapun yang keluar dari mulut setiap manusia itu adalah haknya dan sebagai seorang manusia kamu tidak berhak melarangnya karena, Hak semua manusia untuk bicara sesuka hati mereka juga berperilaku seperti yang mereka mau. You understand? Sorry, but I have to go. Bye”, jelas Annisa.
***
“Mommy, Daddy, kita mau kemana sih?” Tanya Rio tidak sabar. “Honey, kita akan pergi ke rumah temen Mommy and Daddy, okay”, seru seorang Ibu yang duduk dikursi depan. “Mommy, aku gak peduli sama mereka, kenapa sih kita harus ketemuan sama mereka, seru Rio sambil membanting Ipadnya. “Son, They are MyFriend and Daddy berjanji untuk bertemu sama mereka”, kata Ayah Rio yang sedang sibuk menyetir. Rio hanya mendengus, ia lalu menyalakan I-phonenya dan membuat status di Twitter @RioAlfonsodillo: “Today is Bad. Disekolah ketemu cewek aneh yang ngomongnya ngelantur dan kayak penyair gitu. Terus sekarang gue harus di dalam mobil menunggu ke acara reunion kuno ala MyFarent. It’s not unbelievable. Damn it”.
***
“You?” seru Rio terkejut. “Mamangnya aku hantu, sampai-sampai kamu terkejut seperti itu”, kata Annisa. Ini gak mungkin teriak Rio dalam hati. “Oh, Leni This is your Child? Oh, she is so sweet and Pretty” kata Ibu Rio. “Thank’s Jeany. Annisa ayo beri salam”, ujar wanita yang merupakan Ibu Annisa. Perkenalan itu tak lama, seteah beberapa menit yang tersisa hanya  mereka berdua. “So, kamu tinggal disini?” Tanya Rio sok cool. “Sudah jelas, bukan”, jawab Annisa. Rio memandang sekeliling. Dalam rak banyak tumpukan buku-buku ilmiah samapi buku yanhg diluar nalar. “Pantas saja kamu pandai bicara, ternyata kamu suka membaca, ya?” Tanya Rio setelah duduk di Sofa. Annisa terdiam. “hei, kenapa diam?” Tanya Rio lagi. “Kamu mau jadi teman aku?” seru Annisa tegas. “Hah, apa? Teman?” Rio terkejut bukan main.
***
Seharusnya hari itu, aku tidak mengajakmu untuk berteman iya kan, Rio!” kata Annisasedih. “Gak masalah kok, lagi pula aku senang bisa berteman sama kamu”, ujar Rio. “Tapi, ini semua gara-gara aku, kamu jadi seperti ini”, kini air mata Annisa mulai jatuh perlahan. “Annisa, Annisa kamu sedang apa di danau ini? Mama mencarimu kemana-mana”, seru Ibunya. “Annisa, sedih ma. Annisa merasa bersalah”, kini Annisa menangis di dalam pelukan Ibunya. Ia lalu melihat Rio tersenyum dan menghilang. “Rio” teriak Annisa. “Sayang, Rio kan sedang di ICU.dia pasti akan cepat sadar”, hibur Ibunya. “Tapi, nanti dia kaya mas Ivan, ma. Annisa memang bawa sial”, kini tangisnya semakin  kencang. “Annisa, sayang sudah jangan menangis. Rio pasti selamat. Dia pasti sembuh. Kamu tenang saja, ya!” hibur Ibunya lagi sambil memeluk erat Annisa.
***
“Kapas itu indah ya, putih, bersih, dan lembut”, kata Annisa seraya meniup gumpalan kapas ditangannya. “Haha iya, kamu mau tahu apa lagi fungsi kapas yang lain?” ujar Rio. “Apa?” Tanya Annisa penasaran. “Kapas itu selain putih, bersih, dan lembut. Dia juga bisa menghentian luka. Dia bisa menghambat darah yang mengalir”, jelas Rio bersemangat. “Dan kamu tahu, apa yang membuat ku ingin menjadi kapas?” Tanya rio lagi. “Apa itu?” jawab Annisa penasaran lagi. “Aku ingin menyumbat luka rasa bersalah yang ada dihatimu dan menghapus setiap pikiran-pikiran logika yang dibenakmu tentang Hidup yang menurutmu hanya sebuah Ilusi. Aku ingin menyentuhmu dengan Cinta walau hanya sebatas kapas. Tapi cinta yang ku berikan selembut kapas yang bersih dan putih ini”, ujar Rio panjang lebar. Annisa menunduk setelah mendengar semua kata-kata itu. Rio mendekati Annisa dan mengangkat dagunya. “Annisa, kamu gak perlu menyalahkan dirimu sendiri atas semua yang terjadi. Semua yang terjadi sudah ditentukan oleh Tuhan. Dia yang paling tahu kapan Fajarnya dan kapan terbenamnya seseorang. Dia sudah memberikan rencana yang terbaik dari setiap rancangannya. Yang harus kamu lakukan adalah lihat, dengar, dan ikuti perintahnya. Aku tahu kamu pasti mengerti Annisa”, lalu Rio mencium kening Annisa. “Rio….” Annisa terbangun dari tidurnya. Itu kenangan terakhir yang di miliki Annisa sebelum kecelakaan menimpa Rio. Kini Annisa berjalan ke arah jendela. “Rio”, ujarnya pelan. “Aku selalu berubah. Kini senyum selalu menghias di wajah ku”, katanya pada dirinya sendiri. “Rio”, ujar ke arah sumber suara. Ia tersenyum . “Sudah Sepuluh Tahun yah...” ujarnya lagi.