Minggu, 17 Juni 2012

Cinta Selembut Kapas


“Ibu, bilang Hidup itu seperti kuas yang menggores kanvas dan Cinta itu seperti kapas. Aku suka kapas karena kapas selalu bisa membantuku menghentikan luka akibat memar di tubuh”, seru Annisa. Ia melepaskan kapas dari satu bagian yang lain lalu menggulung kapas tersebut menjadi gumpalan kecil. “Rio, kamu setuju sama pendapatku?” Tanya Annisa. “Hhm, sedikit. Aku juga suka kapas soalnya unik aja”, seru cowok berdarah Thailand dan Perancis-Indo itu. Annisa menengadahkan wajahnya ke langit. Hari itu langit cukup cerah di Taman Asri. Bunga Bakung dan Bunga Teratai yang hidup dalam kelompok kecil di pinggiran danau, tersenyum penuh semangat menyambut matahari yang riang gembira. Bakan ikan-ikan kecil di danau ikut gembir, sesekali ikan-ikan itu mendekati kaki panjang nan indah milik Annisa yang masuk ke dalam danau tersebut. Dengan hanya dibalut tanktop hijau dan Jeans pendek putih, Annisa tak canggung bertemu dengan Rio teman baru sekolahnya.
***
“Nama saya Alfonso Armadillo Rio. Saya biasa dipanggil Rio,senang berkenalan denga teman-teman”, Ro membungkukkan badannya. “Oke Rio, sekarang kamu duduk dibelakang Annisa”, seru Ibu Felis. Rio mengangguk dan bergegas duduk dibelakang gadis manis bernama Annisa. “Hai, namaku Rio.nama kamu siapa?” Tanya Rio sambil mencodongkan badannya ke depan. “Nama itu adalah tanda-tanda itu adalah arti sebuah peristiwa. Dan aku enggak mau terjadi peristiwa apapun”, kata Annisa lalu kembali menulis dalam buku catatan. “Cewek aneh diajak kenalan malah ngasih syair”, piker Rio dalam hati.
***
Jam istirahat berbunyi. Rio segera bergegas ke kantin bersama teman-teman barunya. “Woy Rio, pas di Paris kamu sekolah dimana?” ujar Martin. “Oh, aku homeschooling”, jawabnya. “Gila, keren banget. Kamu kan masih SD, masa udah homeschooling. Suer, mantap!” seru Vino. Rio tersenyum. Ia dan teman-temannya menyantap batagor yang sudah mereka pesan. Tatkala, Rio melihat gadis manis berambut panjang itu duduk dibawah pohon mangga sambil membuka kotak makanannya. Rio lalu mengahmpiri gadis manis tersebut. “Disini selalu terasa sejuk.aku suka disini”, seru Annisa pada dirinya sendiri. “Hei, kamu Annisa kan? Boleh aku duduk disini?” Tanya Rio. “Manusia Hidup di dunia ini punya Hak Asasi. Jadi, apapun yang kamu lakukan, lakukan saja tidak ada yang melarang”, seru Annisa lembut. “Oh, okay. I know it”, kata Rio sambil duduk disamping Annisa dengan kikuk. Rio berdeham, “Hhm, Annisa, aku boleh Tanya sesuatu gak?” Annisa mengangguk. “Kamu kan masih SD, kenapa cara bicaramu berat gitu sih?” Tanya Rio ingin tahu. “Sikap dan tingkah laku tidak terikat pada usia ataupun pengalaman. Tetapi terikat pada keinginan manusia itu sendiri”, jelasnya. “Okay, tapi kurasa itu kurang pantas untuk diucapkan seorang bocah yang masih berumur 10 Tahun!”, seru Rio membela. “Dengar ya, Alfonso Armadillo Rio, apapun yang keluar dari mulut setiap manusia itu adalah haknya dan sebagai seorang manusia kamu tidak berhak melarangnya karena, Hak semua manusia untuk bicara sesuka hati mereka juga berperilaku seperti yang mereka mau. You understand? Sorry, but I have to go. Bye”, jelas Annisa.
***
“Mommy, Daddy, kita mau kemana sih?” Tanya Rio tidak sabar. “Honey, kita akan pergi ke rumah temen Mommy and Daddy, okay”, seru seorang Ibu yang duduk dikursi depan. “Mommy, aku gak peduli sama mereka, kenapa sih kita harus ketemuan sama mereka, seru Rio sambil membanting Ipadnya. “Son, They are MyFriend and Daddy berjanji untuk bertemu sama mereka”, kata Ayah Rio yang sedang sibuk menyetir. Rio hanya mendengus, ia lalu menyalakan I-phonenya dan membuat status di Twitter @RioAlfonsodillo: “Today is Bad. Disekolah ketemu cewek aneh yang ngomongnya ngelantur dan kayak penyair gitu. Terus sekarang gue harus di dalam mobil menunggu ke acara reunion kuno ala MyFarent. It’s not unbelievable. Damn it”.
***
“You?” seru Rio terkejut. “Mamangnya aku hantu, sampai-sampai kamu terkejut seperti itu”, kata Annisa. Ini gak mungkin teriak Rio dalam hati. “Oh, Leni This is your Child? Oh, she is so sweet and Pretty” kata Ibu Rio. “Thank’s Jeany. Annisa ayo beri salam”, ujar wanita yang merupakan Ibu Annisa. Perkenalan itu tak lama, seteah beberapa menit yang tersisa hanya  mereka berdua. “So, kamu tinggal disini?” Tanya Rio sok cool. “Sudah jelas, bukan”, jawab Annisa. Rio memandang sekeliling. Dalam rak banyak tumpukan buku-buku ilmiah samapi buku yanhg diluar nalar. “Pantas saja kamu pandai bicara, ternyata kamu suka membaca, ya?” Tanya Rio setelah duduk di Sofa. Annisa terdiam. “hei, kenapa diam?” Tanya Rio lagi. “Kamu mau jadi teman aku?” seru Annisa tegas. “Hah, apa? Teman?” Rio terkejut bukan main.
***
Seharusnya hari itu, aku tidak mengajakmu untuk berteman iya kan, Rio!” kata Annisasedih. “Gak masalah kok, lagi pula aku senang bisa berteman sama kamu”, ujar Rio. “Tapi, ini semua gara-gara aku, kamu jadi seperti ini”, kini air mata Annisa mulai jatuh perlahan. “Annisa, Annisa kamu sedang apa di danau ini? Mama mencarimu kemana-mana”, seru Ibunya. “Annisa, sedih ma. Annisa merasa bersalah”, kini Annisa menangis di dalam pelukan Ibunya. Ia lalu melihat Rio tersenyum dan menghilang. “Rio” teriak Annisa. “Sayang, Rio kan sedang di ICU.dia pasti akan cepat sadar”, hibur Ibunya. “Tapi, nanti dia kaya mas Ivan, ma. Annisa memang bawa sial”, kini tangisnya semakin  kencang. “Annisa, sayang sudah jangan menangis. Rio pasti selamat. Dia pasti sembuh. Kamu tenang saja, ya!” hibur Ibunya lagi sambil memeluk erat Annisa.
***
“Kapas itu indah ya, putih, bersih, dan lembut”, kata Annisa seraya meniup gumpalan kapas ditangannya. “Haha iya, kamu mau tahu apa lagi fungsi kapas yang lain?” ujar Rio. “Apa?” Tanya Annisa penasaran. “Kapas itu selain putih, bersih, dan lembut. Dia juga bisa menghentian luka. Dia bisa menghambat darah yang mengalir”, jelas Rio bersemangat. “Dan kamu tahu, apa yang membuat ku ingin menjadi kapas?” Tanya rio lagi. “Apa itu?” jawab Annisa penasaran lagi. “Aku ingin menyumbat luka rasa bersalah yang ada dihatimu dan menghapus setiap pikiran-pikiran logika yang dibenakmu tentang Hidup yang menurutmu hanya sebuah Ilusi. Aku ingin menyentuhmu dengan Cinta walau hanya sebatas kapas. Tapi cinta yang ku berikan selembut kapas yang bersih dan putih ini”, ujar Rio panjang lebar. Annisa menunduk setelah mendengar semua kata-kata itu. Rio mendekati Annisa dan mengangkat dagunya. “Annisa, kamu gak perlu menyalahkan dirimu sendiri atas semua yang terjadi. Semua yang terjadi sudah ditentukan oleh Tuhan. Dia yang paling tahu kapan Fajarnya dan kapan terbenamnya seseorang. Dia sudah memberikan rencana yang terbaik dari setiap rancangannya. Yang harus kamu lakukan adalah lihat, dengar, dan ikuti perintahnya. Aku tahu kamu pasti mengerti Annisa”, lalu Rio mencium kening Annisa. “Rio….” Annisa terbangun dari tidurnya. Itu kenangan terakhir yang di miliki Annisa sebelum kecelakaan menimpa Rio. Kini Annisa berjalan ke arah jendela. “Rio”, ujarnya pelan. “Aku selalu berubah. Kini senyum selalu menghias di wajah ku”, katanya pada dirinya sendiri. “Rio”, ujar ke arah sumber suara. Ia tersenyum . “Sudah Sepuluh Tahun yah...” ujarnya lagi.

1 komentar: