“Maaf ya, Indri. Kak Rizal gak
menepati janji Kakak”, ujar cowok pujaan para mahasiswi tersebut. Aku lalu
menatap wajanya terlihat disana Kak Rizal merasa bersalah karena tidak bisa
menepati janjinya padaku. “Sudahlah Kak, yang udah terjadi gak bisa dirubah.
Aku gak apa-apa kok”, seruku menghiburnya. Kak Rizal lalu tersenyum lega.
“Indri, Kakak benar-benar minta maaf. Kaka mau melakukan apa pun deh untuk
membayar kesalahan Kakak”, tambahnya. Aku merasa terhru dengan ucapan Kak
Rizal. Kak Rizal benar-benar cowok yang baik dan bertanggung jawab. Enggak
kayak si Ivan. Kok gue ngomongin dia”, dalam hati aku berkata sendiri. “Kak
Rizal, gue gak mau duduk di belakang. Gue mau duduk di depan”, seru suara
Baritone tersebut. “Ivan, kenapa kamu di Bus bukannya kamu bawa mobil
sendiri??” Tanya Kak Rizal yang terkejut melihat Ivan. Aku sudah tidak terkejut
lagi kenapa Ivan ada di sini. “Bukannya udah jelas ya, Kak dia kan disini cumin
mau bikin onar”, seruku tajam. “Heh, Indri. Kenapa sih loe sewot banget. Niat
gue tuh baik tau. Kak Rizal lagi, kalau orang ikut penggalangan dana pastinya
naik Bus. Masa Iya sih, gue tega ngebiarin kalian naik Bus yang busuk ini,
sementara gue duduk di mobil dengan nyaman, gak lah, gue gak setega itu”,
sambil membusungkan dada. Aku tidak percaya, dia berani bilang kalau Bus yang
di sewa dengan harga Dua Juta semalam ini disebut sebagai Bus Busuk. “Kak
Rizal, karena aku sudah di dalam Bus ini dan tempat yang kosong hanya di
belakang….” Ivan menghentikan kata-katanya sejenak. Aku berani bertaruh, dia
bermaksud menyuruh Kak Rizal duduk di belakang dan tadi dia juga sudah
mengatakan hal tersebut. “Van, sorry bukannya gue gak mau. Tapi, gue disini mau
nemenin Indri. Elsa kan gak bisa ikut karena sakit. Terus gue gak bisa nepatin
janji gue untuk gak….” Kak Rizal tidak melanjutkan. “Untuk gak bawa pembuat
onar dan keributan serta yang lainnya, gitu” Suara Ivan meninggi. Kak Rizal
segera berkata, “ e… enggak kok, enggak mungkinlah, Van”. “Kalo loe sadar gue diinginkan disini. Kenapa
loe tetep dating. Itu namanya kekanak-kanakkan, tau”, ujarku semakin tajam.
Ivan menatapku dengan sengit. Aku juga tidak kalah sengit untuk menatapnya. Kak
Rizal benarkok anak orang kaya itu, rata-rata ngerasa dirinya hebat. Makanya
selalu ngejatuhin orang sesuka jidatnya”, Imbuhku. “Indri, loe itu ya….”. ivan
tidak menyelesaikan kata-katanya. “Apa? Kenpa? Loe gak bisa ngebales gue?” kini
suaraku meninggi.
***
Dua hari sebelumnya. “Oh, oke deh
kalo gitu. Iya, tenang aja deh”, seru Kak Rizal lewat handphone. “Makasih
banyak Kak Rizal. Maaf ya ngerepotin”, ujarku. “Hehe, tenang Indri. Gak
ngerepotin kok. Udah dulu ya, bye” suara pembicaraan terhenti. Kak Rizal lalu
mengambil beberapa kertas lalu mulai menulis. Disaat itu Kak Irma dating. “Zal,
barang-barang yang mau dijual udah loe buat daftarnya kan?” tanyanya. “Udah
kok. Eh, Irma, loe ketik ini yah”, seraya memberikan selembar kertas. Kak Irma
mengambilnya dan membacanya.”Indri jadi ikut?” tanyanya. Kak Rizal mengangguk,
“Iya, asal gak ada pembuat onar dan keributan “, Kak Irma tertawa.”Maksudnya si
Ivan?” tanyanya lagi. Kak Rizal mengangguk lagi. “Ya, udah deh. Gue ketik dulu.
Oh, iya supir Bus yang kemarin loe telepon ada di depan tuh”, ujarnya. “Ok,
nanti gue ke depan”, jawab Kak Rizal. Setelah Kak Irma pergi, tidak lama
kemudian terdengar suara orang yang sedang beradu mulut. Kak Rizal
bertanya-tanya dalam hati. “Siapa sih yang rebut-ribut”. “Gak pokoknya Ivan gak
mau, pa”, seru Ivan seraya membuka pintu ruang sekretariat. Ia lalu duduk di
depan Kak Rizal yang terkejut melihat kedatangannya. “Ivan, gimana kamu jadi
mahasiswa yang baik kalau untuk acara penggalangan dana aja kamu enggak ikut!”
seru seorang Bapak yang terlihat masih cukup muda yaitu Ayah Ivan. “Enggak, pa.
sekalinya enggak ya tetap enggak”, ujar Ivan kesal. Kak Rizal lalu berdiri dan
member hormat. “Prof, gimana kabarnya. Silahkan duduk”, Tanya Kak Rizal sopan”.
“Saya baik-baik saja. Rizal tolong masukin Ivan ke dalam daftar penggalangan
dana” seru Prof. Suryo seraya duduk. “Pa, Ivan gak mau. Lagian gak penting
banget sih, ikut acara amal gak jelas gitu. Rizal, awas kalau loe masukin nama
gue. Gue gak akan dating”, ujarnya sengit. “Ivan! Kamu ini jadi anak kok ngeyel
diomongin. Rizal, kamu harus mencantumkan nama dia. Titik”, seru ayah Ivan lagi.
Kak Rizal pun kebingungan dan tidak tahu harus bagaimana. “Papa, kenapa sih
papa selalu maksain kehendak papa”, teriak Ivan. “Ivan!!...” lalu bunyi
handphone bordering. Ayah Ivan segera mengangkatnya dan berbicara cukup serius.
“Ivan, kamu harus tetap ikut! Rizal, cantumkan nama Ivan. Papa pergi dulu.
Jangan lupa, Rizal”, ujar Ayah Ivan lalu pergi. “Hati-hati Prof”, kata Kak
Rizal. Ivan lalu berdiri dari kursinya dan berkata, “rizal, awas ya kalau loe
masukin nama gue. Gue gak akan dating”.
“Tenang aja, gue gak akan masukin nama loe kok”, seru Kak Rizal sambil
tersenyum. Ivan lalu berjalan keluar diaat itulah Kak Irma masuk. Namun, kok
Irma tidak berpapasan dengan Irvan. “Zal, Indri mau dimasukin kelompok dana
berapa?” Tanya Kak Irma cukup keras sehingga Ivan mendengar perkataannya.
“Indri? Karenia Indrieta”, Ivan lalu tersenyum di otaknya sudah terancang
sebuah rencana.
***
“Buat yang Putri kemahnya warna
biru. Buat yang Putra warna hijau tua. Silahkan masuk dan istirahat”, seru Kak
Rizal melalui toak. Ku tenteng task u dengan malas. Ku arahkan pandanganku ke
sekeliling. “Udaranya masih sejuk”, ujarku dalam hati. “Aduh, Ivan berat nih”,
seru Edi. “Udah, deh gak usah banyak cincong. Angkat aja kek”, jawab Ivan. Ku
lihat Ivan berjalan santai tanpa membawa apa pun kecuali kamera yang tergantung
di lehernya. Sedangkan teman-temannya, tunggu, taman-teman Ivan? Astaga, mereka
semua ikut! Aku yakin sekali pasti teman-teman Ivan yang membawa mobil Ivan,
sedangkan Ivan ikut dalam Bus. Sumpah, ngeselin banget. “Kenapa loe?kok
ngelihatin gue? Loe naksir sama gue?”, seru Ivan. Aku lalu membuang muka dan
berjalan cepat menuju kedalam kemah. “Amit-amit deh. Kayak loe satu-satunya
cowok ganteng di muka bumi aja”, seruku tidak kepada siapa pun. Sampai di dekat
kemah, aku mencari namaku yag sudah di temple pada kertas daftar nama di depan
tenda. “karenia Indrieta, ini dia”, seruku ketika aku menemukan namaku, segera
ku buka pintu kemah dan aku terkejut bukan main ternyata sudah ada seorang
perempuan di dalamnya. Untuk menghilangkan rasa terkejutku, aku menyapa dia.
“Hei, loe disini juga”, sapaku. Dia mengangguk. Aku lalu masuk dan mencari
tempat untukku merapikan barangku. Karena penasaran aku lalu bertanya. “Eh,
nama loe siapa? Gue Indri, gue mau nanya kok loe udah nyampe disini duluan ya,
hehe”. Dia tersenyum dan berkata, “Gue Tasya. Seneng, deh ketemu loe lagi,,Lily” ujarnya lembut. Aku terdiam
mendengar perkataannya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar