“Hoahhmm,” aku menengok ke
sebelah kanan ternyata seorang Bapak yang berpakaian kusam sedang menguap. “Ih,
bau banget”, ujarku dalam hati. Kualihkan pandanganku ke kiri mencari-cari
kursi kosong yang bisa ku tempati.sayangnya pagi itu bukanlah hari
keberuntunganku. “seharusnya gue duduk di depan, tempat khusus wanita, tapi gue
malah terdampar di tempat ini. Mana Bapak-bapak semua lagi”, keluhku dalam
hati. Ku ambil MP3 dan menyalakan lagu apa saja yang dapat membuat hari ini
tidak lebih menyebalkan. “Hill song aja deh”, lalu ku ambil earphone dan
memasangnyadi telinga plus volume yang ku buat full. Ku gerakkan kepala
perlahan-lahan. Aku sangat menikmati lagu itu membuatku lupa akan kejadian pagi
ini. Gas ku yang habis ketika ku ingin membuat sarapan pagi ini, buku PR
Ekonomi yang di ambil di Elsa kemarin untuk di salin, sepatu paforitku yang di
ambil tukang beling waktu ku jemur di dekat pohon, Bapak-bapak yang menguap
seenak jidat. “Woy”, ku buka mataku, kaya nya ada yang manggil gue. Apa
perasaan gue doing kali ya”, Tanya ku dalam hati. “Woy, bangun!!” teriaknya
lagi. Ku buka mataku lagi. “Beneran ada yang manggil gue? Tapi masa sih?” Tanya
ku lagi. Lau tangan itu melepaskan earphone ku perlahan dan spontan aku
menenngadah ke atas. (karena tanpa ku sadar aku tertidur dalam keadaan kepala
menunduk ke bawah). “Hah?” teriakku terkejut seorang lelaki berkulit putih
bersih dan bermata sipit menatapku dekat. “Heh, mau ngapain loe? Ngapain loe
ngeliatin gue”, teriak ku keras. Setengah dari penumpang Busway tersebut
mengalihkan pandangannya padaku. Aku lalu merasa bersalah karena sudah
berteriak dengan keras. “Heh, cewek jutuek! Cepetan loe berdiri”, bisik nya
sambil mendekatkan wajahnya padaku. “Buat apa gue berdiri, loe mau ngerebut
kursi ya? Enak aja loe! Ngalah dikit ke sama cewek”, jawabku. Dia lalu
tersenyum kesal. “Siapa juga yang mau ngambil kursi loe. Loe lihat dong ke
sebelah kiri”, ujarnya. “Ogah, gue gak mau. Dasar cowok banci. Nggak bisa
ngalah sama cewek. “Kuberikan dia tatapan ku yang paling tajam. “Heh, loe itu
ya….” Kata-kata terpotong. “Mbak, boleh gak saya duduk di situ”, ujar seorang
perempuan. Lalu aku menoleh ke arahnya dank u lihat seorang Ibu tengah hamil
tua dan nampaknya dia butuh duduk. Aku pun langsung berdiri dan mempersilahkan
dia duduk. “Oh bu, silahkan duduk! Silahkan Bu!” sambil tersenyum ramah.
“makasih ya mbak”, jawabnya. Aku langsung mengangguk sambil tersenyum manis.
“So imut!”. Senyumanku lalu memudar ketika mendengar kata-kata itu. Dalam hati
aku berkata “huft, ngeselin banget sih loe”. Sambil menatap cowok yang selalu
mencari gara-gara denganku ini.”Apa?” tanyaku padanya. Aku lalu mengalihkan
perhatianku pada yang lain sambil meremas-remas tanganku.
***
“Hah? Heh, mau ngapain loe?
Ngapain loe ngeliatin gue” segerombolan cowok-cowok itu pun tertawa. “Suer,
lucu banget van”, ujar salah satu cowok yang ku kenal sebagai Edi. “Padahal loe
tau gak niat gue itu nyuruh dia berdiri buat ngasih itu kursi ke Ibu-ibu yang
lagi hamil. Eh, dia nya malah ogah, gue gak mau. Gak percayaan banget kalau
diomongin. Giliran Ibu hamil itu mintadia buat ngasih tempat duduk, dengan
wajah sok imutnya ngasih dikasih deh tuh tempat duduk. Haha, parah, gokil”,
ceritanya sambil terbahak-bahak. Mahasiswa lain pun ikut tertawa mendengar
cerita dari Ivan, anak sok medis, ganteng, kaya, pintar, ramah, baik, dan
segala hal yang menurut cewek sempurna. Padahal menurutku dia cumin cowok gak
penting di muka bumi ini. “Makanya kalau loe
nggak sanggup ngambil Ekonomi. Gak usah di ambil mendingan ngambil
jurusan apa kek yang nggak bikin loe ngantuk dan ketiduran di busway. Gara-gara
sibuk ngapalin tugas. Hahaha”, serunya lagi. Para mahasiswa lain kembali
tertawa keras. Aku sudah tidak sanggup mendengar ocehannya ketika aku bediri
untuk menghampiri dan mengahajarnya disitulah tangan Elsa menahanku. “Udahlah
Ndri gak usah loe dengerin kata-kata dia”, ujarnya. “Tapi gue udah gak tahan
Sa. Loe lihat dong semua mahasiswa di kantin ini ngetawain gue”, ujarku geram.
“udah deh mending kita ke kelas aja, ayo” ditariknya tanganku. “Eh, mau kemana
loe? Tadi loe teriak-teriak di busway. Kenapa sekarang suara loe gak
kedengeran?” seru Ivan sambil terkekh. Elsa member sinyal untuk aku
menghiraukannya. Namun aku lepaskan tanganku dari cengkraman Elsa lalu berjalan
menuju Ivan. “Alexandro Ivanio Kuncoro Jadmiko, cowok sok ganteng, modis,
ramah, baik, dan pinter! Udah puas loe ngehina gue? Lahian nih ya, lao
dipikir-pikir kok bisa ya cowok tajir kayak oe naik busway ke kampus? Apa
enggak jatoh pamor loe yang ngalahin pamornya patung Liberty? Atau loe dipecat
jadi anak sama ortu loe yang masuk Top Five orang terkaya Indonesia itu,
jadinya loe naik busway deh, upss kasihan banget y aloe!” ujarku senang sambil
tersenyum menag. Kulihat rona wajah Ivan berubah menjadi merah padam. Wajahnya
yang putih bersih kini mirip kepiting rebus. Belum lagi mahasiswa lain yang
bertanya-tanya karena mikir kenapa cowok setajir Ivan bisa naik Busway. “Van,
loe gak beneran….” Edi tidak sanggup menyelesaikan kata-katanya. “diam loe! Gak
mungkin lah!” seru Ivan. Aku berjalan maju mendekati Ivan. “kudekatkan wajahku
lalu berkata, Apa? Loe malu? Sekarang loe bisa rasain kana pa yang gue rasain
dari tadi, waktu anak-anak ngetawain gue! Cowok banci”. Setelah berkata itu aku
pergi menuju kelas. “Karenia Indrieta” teriak Ivan sambil meremas tangannya.
Lalu aku menoleh sejenak sambil tersenyum menang.
***
“Sumpah, parah banget loe. Tapi
jujur ya gue masih lucu
ngeliat raut wajah si Ivan pas loe ngomongin soal kenapa dia naik Busway.
Mukanya itu loh kayak kepiting rebus. Haha”, ujar Elsa ketika kami selesai
kelas. Aku hanya diam. Jujur saja aku usah tidak peduli akan kejadian itu.
“tapi hari ini, gue bener-bener sial!” Keluhku kesal. “Udahlah, yang udah
terjadi enggak bisa diapa-apain lagi. Mending loe Have fun aja”, ujarnya
lembut. Aku lalu tersenyum mengangguk. “eh, Indri kamu disini ternyata”, kata
Rizal sang Ktua Kemahasiswaan. “Kak Rizal, ada apa?” tanyaku. “Kamu ikut acara
penggalangan dana kampus kita kan? Kalau tidak salah kamu masuk daftar”,
ujarnya lagi. “oh, itu kemarin Prof. Agung udah bilang sama aku. Tapi aku masih
belum tahu kak”, sambil menggaruk kepalku yang sama sekali tidak gatal. “Loh,
emang kenpa? Cuman 4 hari doing kok, dan ada acara Outbondnya kok. Udah ikut
aja ya..” pinta Kak rizal. “Udahlah, mending loe ikut aja Indri. Ya, kan Kak
Rizal”, seru Elsa sambil tersenyum manis pada Kak Rizal cowok idamannya. “Kalau
kamu mau, Kakak bisa usahain biar Elsa bisa ikut juga, gimana?’ Tanya Kak Rizal
lagi. Elsa tersenyum senang. “Aku boleh ikut juga, Kak? Asik, Indri loe ikut
aja deh, ada gue kok”, paksanya. “Ih, init uh bukannya soal ad aloe atau
enggaknya, gue takut ada acara pas hari H nya”, sergahku. “Ya, udah nanti kita
omongin lagi. Sekarang Kakak hrus masuk kelas dulu. Sampai ketemu nanti Indri sama
Elsa” seraya pergi. “Dah Kak Rizal tenang aja kak. Aku bakal bikin Indri ikut
deh. Dah” teriaknya. Aku hanya mendengus. Kak Rizal cowok impian Elsa. Sejak
masuk kampus hingga semester ketiga ini. Elsa masih stay suka sama cowok yang
pintar dan jago renang ini. Enggak putih-putih amat sih, tapi Kak Rizal emang
manis ditambah dengan tubuhnya yang Atletis. Cowok semester enam yang ngambil
Jurusan Arsitektur ini menjadi incaran setiap kaum hawa di kampus. Tapi, Kak
Rizal enggak pernah ngelirik mereka sekalipun. “Heh, Karenia Indrieta, mending
loe ikut aja. Nggak pake enggak. Titik” perintahnya. “Elsa gue bukannya gak
mau, tapi loe tahu kan kalo….” Kata-kata ku terpotong. “Enggak, pokoknya loe
harus ikut. Titik. Enggak pake koma. Loe ihat dong Kak Rizal cowok se perfect
itu mohon-mohon sama loe buat ikut acara penggalangan dana! Keren banget gak
sih? Loe tuh beruntung, tau!” serunya membuatku kehilangan kata-kata. “Ok, gue
ikut tapi loe harus janji gak bakalan pinjem tugas Ekonomi gue selama satu
minggu, gimana?” tanyaku membuat Elsa cemberut. “Kok loe gitu sih? Apa
hubungannya tugas Ekomoni yang sering gue pinjem sama penggalangan dana?”
jawabnya membela. “Bodo, pokoknya gue ikut kalo loe gak minjem and nyalin tugas
gue selama 1 minggu. Deal?” aku ulurkan tanganku. Elsa berpikir sejenak lalu
“Oke, gue setuju! Toh Cuma 1 minggu. Awas kalo loe ga ikut”, ujarnya. “Oke, gue
gak akan bohong”.
***
Lalu seminggu kemudian ketika
hari keberangkatan. “Apa? Loe gak bisa ikut? Terus gue sendiri dong! Kok loe
bohong sih, sa?” tanyaku melalui Handphone. “Maap deh. Ndri. Sebenarnya kemarin
gue masih sehat. Tapi semalem gue minum jus alpukat. Terus badan gue langsung
anget dan gue bersin-bersin”, jawabnya dengan suaranya yang mindeng. “loe sih?
Udah tau alergi sama alpukat masih aja nekad minum! Mending sekarang loe
istirahat deh, biar cepet sehat” saranku. “Ya, gue istirahat hati-hati ya Ndri,
semoga hari loe menyenangkan. Bye”, suara pembicaraan terputus. Aku masukkan
handphone ku k etas dan bergegas menuju kampus. Sampai di kampus kulihat 3 bus
pariwisata sudah terparkir rapi di depan. Ku lihat juga Kak Irma, sang Wakil
Ketua Kemahasiswaan. “Kak Irma” sapaku. “hei, Indri. Wah, makasih yah sudah mau
ikut serta dalam acara ini”, serunya. Kak Irma adalah sensor kedua setelah kak
Rizal yang baik padaku. Dia mahasiswa Jurusan Farmasi semester lima. “Oh, gak
masalah kok, tapi…” Tapia apa? Tanyanya. Aku dekatkan mulutku kekupingnya. “Gak
ada yang namanya si pembuat onar dan keributan serta yang lainnya itu kan?”
bisikku. Kak Irma tersenyum. “Tentu saja, Kakak juga lebih suka ketenangan
dibanding keributan”, aku ikut tersenyum. “Oke deh, kak aku ke ruang
secretariat dulu ya. Kak Rizal udah dating kan?” Tanyaku. “Oh, udah kok. Ya,
udah kamu kesana aja”. Segera aku langkahkan kaki ku menuju ruang secretariat
dan betul di depan pintu ruang secretariat Kak Rizal sedang sibuk berbicara
dengan mahasiswa lain. Ku tunggu sampai Kak Rizal selesai berbincang dengan
mereka. “hei, Kak Rizal”, sapaku ketika para mahasiswa itu sudah pergi. “Eh,
Indri kamu sudah dating?” tanyanya dengan raut wajah bingung. “iya dong, Kak
aku kan gak mau telat. Kaka kenpa sih kok wajahnya kebingungan gitu”, tanyaku.
“Oh, enggak kok. Kakak baik-baik saja. Tapi sebenarnya, Indri soal permintaan
kamu yang….” Kulihat Kak Rizal tampak sangat kebingungan. “Soal apa?” tanyaku.
“Soal gak boleh ada pembuat onar dan keributan serta yang lainnya itu”. “Oh,
itu kata Kak Irma sudah beres. Gak ada hal-hal itu terima kasih ya, Kak. Aku
jadi ngerepotin”, seruku senang. “Tapi, Indri…”. “Kak Rizal, kapan
berangkatnya”, seorang cowok berkulit putih muncul dari ruang sekretariat. Aku
langsung terkejut. “Ivan…” Dia lalu
tersenyum padaku. “Kok cuman
‘Ivan’ nama gue kan Alexandro Ivano Suryono Jadmiko, betul kan, Karenia
Indrieta?” kata cowok menyebalkan itu.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar