Minggu, 17 Juni 2012

Kenangan Bunga Lily


“Hoahhmm,” aku menengok ke sebelah kanan ternyata seorang Bapak yang berpakaian kusam sedang menguap. “Ih, bau banget”, ujarku dalam hati. Kualihkan pandanganku ke kiri mencari-cari kursi kosong yang bisa ku tempati.sayangnya pagi itu bukanlah hari keberuntunganku. “seharusnya gue duduk di depan, tempat khusus wanita, tapi gue malah terdampar di tempat ini. Mana Bapak-bapak semua lagi”, keluhku dalam hati. Ku ambil MP3 dan menyalakan lagu apa saja yang dapat membuat hari ini tidak lebih menyebalkan. “Hill song aja deh”, lalu ku ambil earphone dan memasangnyadi telinga plus volume yang ku buat full. Ku gerakkan kepala perlahan-lahan. Aku sangat menikmati lagu itu membuatku lupa akan kejadian pagi ini. Gas ku yang habis ketika ku ingin membuat sarapan pagi ini, buku PR Ekonomi yang di ambil di Elsa kemarin untuk di salin, sepatu paforitku yang di ambil tukang beling waktu ku jemur di dekat pohon, Bapak-bapak yang menguap seenak jidat. “Woy”, ku buka mataku, kaya nya ada yang manggil gue. Apa perasaan gue doing kali ya”, Tanya ku dalam hati. “Woy, bangun!!” teriaknya lagi. Ku buka mataku lagi. “Beneran ada yang manggil gue? Tapi masa sih?” Tanya ku lagi. Lau tangan itu melepaskan earphone ku perlahan dan spontan aku menenngadah ke atas. (karena tanpa ku sadar aku tertidur dalam keadaan kepala menunduk ke bawah). “Hah?” teriakku terkejut seorang lelaki berkulit putih bersih dan bermata sipit menatapku dekat. “Heh, mau ngapain loe? Ngapain loe ngeliatin gue”, teriak ku keras. Setengah dari penumpang Busway tersebut mengalihkan pandangannya padaku. Aku lalu merasa bersalah karena sudah berteriak dengan keras. “Heh, cewek jutuek! Cepetan loe berdiri”, bisik nya sambil mendekatkan wajahnya padaku. “Buat apa gue berdiri, loe mau ngerebut kursi ya? Enak aja loe! Ngalah dikit ke sama cewek”, jawabku. Dia lalu tersenyum kesal. “Siapa juga yang mau ngambil kursi loe. Loe lihat dong ke sebelah kiri”, ujarnya. “Ogah, gue gak mau. Dasar cowok banci. Nggak bisa ngalah sama cewek. “Kuberikan dia tatapan ku yang paling tajam. “Heh, loe itu ya….” Kata-kata terpotong. “Mbak, boleh gak saya duduk di situ”, ujar seorang perempuan. Lalu aku menoleh ke arahnya dank u lihat seorang Ibu tengah hamil tua dan nampaknya dia butuh duduk. Aku pun langsung berdiri dan mempersilahkan dia duduk. “Oh bu, silahkan duduk! Silahkan Bu!” sambil tersenyum ramah. “makasih ya mbak”, jawabnya. Aku langsung mengangguk sambil tersenyum manis. “So imut!”. Senyumanku lalu memudar ketika mendengar kata-kata itu. Dalam hati aku berkata “huft, ngeselin banget sih loe”. Sambil menatap cowok yang selalu mencari gara-gara denganku ini.”Apa?” tanyaku padanya. Aku lalu mengalihkan perhatianku pada yang lain sambil meremas-remas tanganku.
***
“Hah? Heh, mau ngapain loe? Ngapain loe ngeliatin gue” segerombolan cowok-cowok itu pun tertawa. “Suer, lucu banget van”, ujar salah satu cowok yang ku kenal sebagai Edi. “Padahal loe tau gak niat gue itu nyuruh dia berdiri buat ngasih itu kursi ke Ibu-ibu yang lagi hamil. Eh, dia nya malah ogah, gue gak mau. Gak percayaan banget kalau diomongin. Giliran Ibu hamil itu mintadia buat ngasih tempat duduk, dengan wajah sok imutnya ngasih dikasih deh tuh tempat duduk. Haha, parah, gokil”, ceritanya sambil terbahak-bahak. Mahasiswa lain pun ikut tertawa mendengar cerita dari Ivan, anak sok medis, ganteng, kaya, pintar, ramah, baik, dan segala hal yang menurut cewek sempurna. Padahal menurutku dia cumin cowok gak penting di muka bumi ini. “Makanya kalau loe  nggak sanggup ngambil Ekonomi. Gak usah di ambil mendingan ngambil jurusan apa kek yang nggak bikin loe ngantuk dan ketiduran di busway. Gara-gara sibuk ngapalin tugas. Hahaha”, serunya lagi. Para mahasiswa lain kembali tertawa keras. Aku sudah tidak sanggup mendengar ocehannya ketika aku bediri untuk menghampiri dan mengahajarnya disitulah tangan Elsa menahanku. “Udahlah Ndri gak usah loe dengerin kata-kata dia”, ujarnya. “Tapi gue udah gak tahan Sa. Loe lihat dong semua mahasiswa di kantin ini ngetawain gue”, ujarku geram. “udah deh mending kita ke kelas aja, ayo” ditariknya tanganku. “Eh, mau kemana loe? Tadi loe teriak-teriak di busway. Kenapa sekarang suara loe gak kedengeran?” seru Ivan sambil terkekh. Elsa member sinyal untuk aku menghiraukannya. Namun aku lepaskan tanganku dari cengkraman Elsa lalu berjalan menuju Ivan. “Alexandro Ivanio Kuncoro Jadmiko, cowok sok ganteng, modis, ramah, baik, dan pinter! Udah puas loe ngehina gue? Lahian nih ya, lao dipikir-pikir kok bisa ya cowok tajir kayak oe naik busway ke kampus? Apa enggak jatoh pamor loe yang ngalahin pamornya patung Liberty? Atau loe dipecat jadi anak sama ortu loe yang masuk Top Five orang terkaya Indonesia itu, jadinya loe naik busway deh, upss kasihan banget y aloe!” ujarku senang sambil tersenyum menag. Kulihat rona wajah Ivan berubah menjadi merah padam. Wajahnya yang putih bersih kini mirip kepiting rebus. Belum lagi mahasiswa lain yang bertanya-tanya karena mikir kenapa cowok setajir Ivan bisa naik Busway. “Van, loe gak beneran….” Edi tidak sanggup menyelesaikan kata-katanya. “diam loe! Gak mungkin lah!” seru Ivan. Aku berjalan maju mendekati Ivan. “kudekatkan wajahku lalu berkata, Apa? Loe malu? Sekarang loe bisa rasain kana pa yang gue rasain dari tadi, waktu anak-anak ngetawain gue! Cowok banci”. Setelah berkata itu aku pergi menuju kelas. “Karenia Indrieta” teriak Ivan sambil meremas tangannya. Lalu aku menoleh sejenak sambil tersenyum menang.
***
“Sumpah, parah banget loe. Tapi jujur ya gue masih lucu ngeliat raut wajah si Ivan pas loe ngomongin soal kenapa dia naik Busway. Mukanya itu loh kayak kepiting rebus. Haha”, ujar Elsa ketika kami selesai kelas. Aku hanya diam. Jujur saja aku usah tidak peduli akan kejadian itu. “tapi hari ini, gue bener-bener sial!” Keluhku kesal. “Udahlah, yang udah terjadi enggak bisa diapa-apain lagi. Mending loe Have fun aja”, ujarnya lembut. Aku lalu tersenyum mengangguk. “eh, Indri kamu disini ternyata”, kata Rizal sang Ktua Kemahasiswaan. “Kak Rizal, ada apa?” tanyaku. “Kamu ikut acara penggalangan dana kampus kita kan? Kalau tidak salah kamu masuk daftar”, ujarnya lagi. “oh, itu kemarin Prof. Agung udah bilang sama aku. Tapi aku masih belum tahu kak”, sambil menggaruk kepalku yang sama sekali tidak gatal. “Loh, emang kenpa? Cuman 4 hari doing kok, dan ada acara Outbondnya kok. Udah ikut aja ya..” pinta Kak rizal. “Udahlah, mending loe ikut aja Indri. Ya, kan Kak Rizal”, seru Elsa sambil tersenyum manis pada Kak Rizal cowok idamannya. “Kalau kamu mau, Kakak bisa usahain biar Elsa bisa ikut juga, gimana?’ Tanya Kak Rizal lagi. Elsa tersenyum senang. “Aku boleh ikut juga, Kak? Asik, Indri loe ikut aja deh, ada gue kok”, paksanya. “Ih, init uh bukannya soal ad aloe atau enggaknya, gue takut ada acara pas hari H nya”, sergahku. “Ya, udah nanti kita omongin lagi. Sekarang Kakak hrus masuk kelas dulu. Sampai ketemu nanti Indri sama Elsa” seraya pergi. “Dah Kak Rizal tenang aja kak. Aku bakal bikin Indri ikut deh. Dah” teriaknya. Aku hanya mendengus. Kak Rizal cowok impian Elsa. Sejak masuk kampus hingga semester ketiga ini. Elsa masih stay suka sama cowok yang pintar dan jago renang ini. Enggak putih-putih amat sih, tapi Kak Rizal emang manis ditambah dengan tubuhnya yang Atletis. Cowok semester enam yang ngambil Jurusan Arsitektur ini menjadi incaran setiap kaum hawa di kampus. Tapi, Kak Rizal enggak pernah ngelirik mereka sekalipun. “Heh, Karenia Indrieta, mending loe ikut aja. Nggak pake enggak. Titik” perintahnya. “Elsa gue bukannya gak mau, tapi loe tahu kan kalo….” Kata-kata ku terpotong. “Enggak, pokoknya loe harus ikut. Titik. Enggak pake koma. Loe ihat dong Kak Rizal cowok se perfect itu mohon-mohon sama loe buat ikut acara penggalangan dana! Keren banget gak sih? Loe tuh beruntung, tau!” serunya membuatku kehilangan kata-kata. “Ok, gue ikut tapi loe harus janji gak bakalan pinjem tugas Ekonomi gue selama satu minggu, gimana?” tanyaku membuat Elsa cemberut. “Kok loe gitu sih? Apa hubungannya tugas Ekomoni yang sering gue pinjem sama penggalangan dana?” jawabnya membela. “Bodo, pokoknya gue ikut kalo loe gak minjem and nyalin tugas gue selama 1 minggu. Deal?” aku ulurkan tanganku. Elsa berpikir sejenak lalu “Oke, gue setuju! Toh Cuma 1 minggu. Awas kalo loe ga ikut”, ujarnya. “Oke, gue gak akan bohong”.
***
Lalu seminggu kemudian ketika hari keberangkatan. “Apa? Loe gak bisa ikut? Terus gue sendiri dong! Kok loe bohong sih, sa?” tanyaku melalui Handphone. “Maap deh. Ndri. Sebenarnya kemarin gue masih sehat. Tapi semalem gue minum jus alpukat. Terus badan gue langsung anget dan gue bersin-bersin”, jawabnya dengan suaranya yang mindeng. “loe sih? Udah tau alergi sama alpukat masih aja nekad minum! Mending sekarang loe istirahat deh, biar cepet sehat” saranku. “Ya, gue istirahat hati-hati ya Ndri, semoga hari loe menyenangkan. Bye”, suara pembicaraan terputus. Aku masukkan handphone ku k etas dan bergegas menuju kampus. Sampai di kampus kulihat 3 bus pariwisata sudah terparkir rapi di depan. Ku lihat juga Kak Irma, sang Wakil Ketua Kemahasiswaan. “Kak Irma” sapaku. “hei, Indri. Wah, makasih yah sudah mau ikut serta dalam acara ini”, serunya. Kak Irma adalah sensor kedua setelah kak Rizal yang baik padaku. Dia mahasiswa Jurusan Farmasi semester lima. “Oh, gak masalah kok, tapi…” Tapia apa? Tanyanya. Aku dekatkan mulutku kekupingnya. “Gak ada yang namanya si pembuat onar dan keributan serta yang lainnya itu kan?” bisikku. Kak Irma tersenyum. “Tentu saja, Kakak juga lebih suka ketenangan dibanding keributan”, aku ikut tersenyum. “Oke deh, kak aku ke ruang secretariat dulu ya. Kak Rizal udah dating kan?” Tanyaku. “Oh, udah kok. Ya, udah kamu kesana aja”. Segera aku langkahkan kaki ku menuju ruang secretariat dan betul di depan pintu ruang secretariat Kak Rizal sedang sibuk berbicara dengan mahasiswa lain. Ku tunggu sampai Kak Rizal selesai berbincang dengan mereka. “hei, Kak Rizal”, sapaku ketika para mahasiswa itu sudah pergi. “Eh, Indri kamu sudah dating?” tanyanya dengan raut wajah bingung. “iya dong, Kak aku kan gak mau telat. Kaka kenpa sih kok wajahnya kebingungan gitu”, tanyaku. “Oh, enggak kok. Kakak baik-baik saja. Tapi sebenarnya, Indri soal permintaan kamu yang….” Kulihat Kak Rizal tampak sangat kebingungan. “Soal apa?” tanyaku. “Soal gak boleh ada pembuat onar dan keributan serta yang lainnya itu”. “Oh, itu kata Kak Irma sudah beres. Gak ada hal-hal itu terima kasih ya, Kak. Aku jadi ngerepotin”, seruku senang. “Tapi, Indri…”. “Kak Rizal, kapan berangkatnya”, seorang cowok berkulit putih muncul dari ruang sekretariat. Aku langsung terkejut. “Ivan…” Dia lalu tersenyum padaku. “Kok cuman ‘Ivan’ nama gue kan Alexandro Ivano Suryono Jadmiko, betul kan, Karenia Indrieta?” kata cowok menyebalkan itu.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar